Renungan Pemudi Hijrah
-Aku Tidak Seshalihah Yang Kau Pikirkan-
Kau lihat aku selalu
menundukkan pandangan bila bertemu dengan ikhwan, kau lihat aku selalu menjaga
jarak dengan kaum adam, kau lihat aku sangat berhati-hati menjaga diri, itu
yang kau lihat. Kau tak tau malam-malamku, kau tak tau apa yang kulakukakan
dalam dunia mayaku, dalam bentangan hayalanku, kau tak tau.
Kau lihat aku rajin
shalat tepat waktu, amalan nawafil pun melekat selalu. Tapi apa kau tau, sudah
beribu-ribu kali kulakukan nyatanya aku masih terlalu malas untuk berusaha
paham apa yang kubaca dan apa yang kulakukan. Seakan semua hanya berlabel
formalitas bagiku, tak perlu dijiwai, tak perlu dimaknai, begitu-begitu saja
bahkan hingga bertahun-tahun lamanya, stagnan.
Kau dengar, tilawahku
sangat merdu, kaidah tajwid telah tertunai. Kau tak tau, bahwa aku belum
sepenuhnya bisa menjadikan Al Qur’an satu-satunya irama dalam hidupku. Aku masih
suka mendengar musik. Okay, ‘ulama memang berbeda pendapat soal musik, tapi
musik yang dihalalkan bukanlah musik jahiliyyah seperti yang selalu kudengar
setiap harinya. Yang kuputar untuk jadi pengiring kerjaku, teman belajarku dan
pengantar tidurku.
Kau lihat, hobbyku
adalah membaca seperti yang terpampang di tampilan biodataku. Aku telah melahap
banyak buku dan mengoleksi banyak bacaan di rakku, novel misalnya. Tapi kau
tau, bahkan hingga kini aku belum sempat menammatkan terjemahan surat
cinta-Nya, kitab riyadush shalihin maupun sirah nabawiyah. Aku masih terlalu
pongah dan malas menyelaminya.
Kau tau aku tinggal di lingkungan yang agamais,
hari-hariku mungkin sarat dengan makna tapi kau tak tau siapa aku di dalamnya.
Bila disetiap tempat akan selalu ada kebaikan dan keburukan, maka aku dalah
keburukan bagi tempat itu. Aturan kulanggar dan nasihat tak kudengar, aku bagai
virus yang menjengkelkan
Kau lihat apa yang aku
pelajari sehari-hari, ilmu agama, kitab-kitab dll, tapi tidak bisa kau
simpulkan begitu saja teman. Aku belum tentu paham ilmu-ilmu itu, pun jika
paham aku terlalu sulit mengamalkannya, aku belum tentu seperti yang dimata kalian, seperti panggilan kalian
itu, Ustadzah,,,
Kau lihat aku sangat
indah dalam berpakaian, jilbabku panjang lagi lebar, hanya wajah dan telapak
tangan yang terlihat bahkan lebih sedikit dari itu, cukup sepasang mata dan
telapak tangan saja, begitu yang kau lihat kawan. Tapi tidak dengan hatiku,
yang sampai kini tak bisa kulindungi, hingga ia sering terserang penyakit hati
bahkan pernah nyaris mati. Hatiku tak seindah tampilan busanaku
Lalu kau lihat akun
sosial mediaku, aku banyak membagikan nasihat, tulisan-tulisan dakwah berjejer
satu persatu, diselingi foto-foto muslimah, kata-kata mutiara dan seabrek postingan
positif lainnya. Kau tau, itu dunia maya, aku belum tentu senyata itu. Nasihat
yang kubagikan, kebaikan yang kutebarkan belum tentu mampu kupenuhi, satu yang
pasti, aku tidak sesempurna postinganku.
Aku telah menipu kalian
dengan memainkan sandiwara dan memasang topeng di wajahku, aku menyembunyikan
banyak hal, membungkus kotoran dengan permata dan berteduh pada cahaya orang
lain sehingga akupun terlihat bercahaya.
MUNAFIK!
Terserah padamu kawan,
nilai aku sepuasmu. Dengarkan, akan aku terangkan padamu.
Dahulu, aku tampil apa
adanya, tampil sebagaimana rupa hatiku. Aku menyukai seseorang, ya kutampilkan
apa adanya, kutunjukkan bahwa aku memang benar-benar menyukainya hingga dia tahu
bahkan sampai sejagat pun tahu.
Dahulu, aku tampil apa
adanya. Saat hatiku jengkel dan kesal, kutunjukkan apa adanya pada mereka,
dengan muka masam, nada tinggi, amarah bahkan diam berhari-hari.
Dahulu aku tampil apa
adanya, mengambil posisi di tengah-tengah kumpulan para bandit, para penyebar
gosip, dan para pemalas. Sebab menurutku itulah aku, begitulah hatiku dan
perangaiku maka itulah lingkungan yang cocok buatku.
Dahulu aku tampil apa
adanya, akun sosial mediaku tampil sebagaimana adanya, status-statusku bersisi
curhatan, makian, gosip, foto-foto dengan aurat yang terbuka, karena memang
begitulah adanya aku dalam dunia nyata. Tak jarang pula aku membagikan
postingan yang unfaedah bahkan merugikan mata dan telinga orang-orang ‘suci’
Dahulu aku tampil apa
adanya, tidak mau menghijabi fisikku lantaran aku sadar hatiku yang masih
compang camping, aku malu, aku gengsi, dan biarlah begini, apa adanya.
Maka muncullah,
orang-orang yang kusebut tadi bercahaya. Mereka membagi cahayanya dan perlahan
menutupi gelapnya hidupku. Sabar sekali orang-orang itu. Setelah gelapku
ditutupi, perlahan cahaya itu mengikisnya, dan,,, masih sampai disini, aku
belum cukup kuat memisahkan diri, cahayaku masih terpaut pada mereka, aku belum
punya cahaya sendiri. Hingga kini aku masih menumpang pada cahaya orang lain.
Mereka tidaklah
mengajariku menjadi seorang munafik ataupun pembohong dan mereka juga tidak
mengajakku berubah dengan cara-cara yang tidak jujur. Pun, sama sekali aku
tidak berniat membohongi public dengan semua tatih-tatih perubahan ini. Tapi
aku memang manusia lemah, aku telah membuktikan kelemahanku yang tak bisa
menyamakan perubahan hati dan fisikku, aku lemah tak bisa berubah secepat yang
kau pikirkan itu, sesempurna yang kau pikirkan itu.
Maka betapa malu hatiku
kawan, ketika kita tidak lagi bergandengan sejak itu. Kita telah terkotak-kotakkan
oleh gaya hidup padahal perbedaan tidak sejatinya selalu memisahkan. Kau yang
menganggapku terlalu suci untuk ditemani, atau aku yang terlalu sombong dengan
pancaran cahaya yang kutarik dari orang lain ini? Maafkan aku kawan. Bahkan aku
tidak lebih baik darimu, aku masih harus banyak belajar lagi darimu. Mengapa
aku sepongah itu, padahal tidak ada yang bisa disombongkan dari diriku, pun aku
tidak seshalihah itu.
Aku akui itu. Salahkan aku.
Jika kau melihat keburukanku, salahkan aku, jangan salahkan jilbab ini, agama
ini dan orang yang mengajakku pada jalan ini. Sebab sesungguhnya jalan ini
benar, jalan ini lurus, damai dan tidak akan memecah belah. Hanya saja aku yang
masih butuh proses. Jika kalian pikir aku adalah noda dalam citra agama ini,
maka aku sudah lebih dulu memikirkannya, menimbang-nimbangnya sebelum rela menerima
cahaya orang lain sebagai tempat teduhku.
Setiap orang punya fase
dalam hidupnya. Ada yang saat ini masih dalam kegelapan dengan segala
keawamannya, fase ‘kemunafikan’ dengan segala perjuangan hijrahnya, fase tumbuh
kembang dalam jama’ah tarbiyahnya, dan seterusnya. So, kita hanya manusia yang
memang terbatas penglihatannya, kita bisa membaca luarnya tapi tidak tau
sepenuhnya isi di dalamnya.
Buat yang baru hijrah,
janganlah mudah menjudge orang lain buruk, menganggap hina orang lain bahkan
mengkafirkan orang lain. Jangan gegabah dan menyombongkan diri seperti itu. Toh,
kita juga belum tentu lebih baik dari mereka. Selayaknya kamu adalah orang yang
hijrah, tahu betul posisi orang yang
belum hijrah, kamu pernah merasakannya. Dan jangan pula terburu-buru menuduh
orang atau kelompok lain yang tidak sesuai dengan pemikiranmu, ingat ada banyak
khilafiah atau perbedaan pendapat dan ‘ulama kita tidak pernah bertengkar soal
itu.
Dan buat yang lain,
orang yang baru hijrah itu imannya masih labil. Ia butuh dukungan, sokongan,
uluran tangan serta gandengan untuk menguatkan akarnya bertumbuh dalam jalan
yang benar. Sebaiknya janganlah mengejek mereka sok suci, sok alim dan lebay. Jangan
pula menghina jilbab mereka, dan mengatakan bahwa mereka tidak pantas memakai
jilbab lebar misalnya. Toh, memakai jilbab, umumya menutup aurat adalah
kewajiban, dan semua muslimah wajib dan berhak memakainya termasuk orang yang
masih dangkal agamanya sekalipun.
Tahulah, berubah itu
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak orang yang gagal hijrah
dan enggan memutuskan hijrah tersebab tidak tahan dengan cerca dan komentar
orang lain. Aku menemui banyak orang yang sebenarnya sangat ingin berhijrah,
mengubah penampilannya, mendalami agama dsb, tapi terlihat jelas urat keraguan
menggempal di wajahnya, ia malu dihina orang, ia takut tidak bisa istiqamah dan
takut dijauhi kumpulannya.
Maka akupun mengakui,
bahwa aku tidak seshalihah yang kalian pikirkan melalui tampilan luarku. Aku masih
harus banyak belajar. Dan, maafkan daku.
Oh ya, sepertinya aku
memahami satu hal, bahwa apa adanya itu memang baik, kita dituntut untuk
menjadi generasi yang jujur. Tapi tampil terlalu apa adanya adalah keterlaluan.
Tak semua hal harus ditunjukkan. Ada beberapa hal yang perlu disembunyikan dan
dijawab “tidak” oleh lisan. Misalnya tentang perasaanmu yang tak perlu diutarakan
sebelum waktunya, tentang kebaikanmu atau keburukan temanmu (kecuali ada
maslahat di dalamnya) dan sebagainya. Terlalu apa adanya juga bisa membuat
orang buta akan perubahan, stagnan, jalan di tempat dan membiarkan diri
begitu-begitu saja padahal dia bisa mengada lebih dari itu. Daaaann,, jangan
salah paham soal “apa adanya ini”
NB : Tulisan ini bukan
berarti kisah si penulis, tapi bisa jadi penulis juga mengalaminya. Tulisan ini
adalah saduran dari beberapa kisah nyata yang dimaksudkan untuk memotivasi,
mengajak dan utamanya sebagai bahan intropeksi diri bagi siapapun. Semoga
bermanfaat.
By : Ney Nasution
Yogyakarta, 22 Januari
2019
Komentar
Posting Komentar