Cerita Santri : Hadiah di Minggu Tenang Ala Pondok


Hadiah di Minggu Tenang.
Ala Anak Pondok

Sekardus mie instan adalah hadiah termewah. Hadiah itu biasanya diberikan kepada juara umum atau juara tarik tambang sebagai lomba paling melelahkan dan menyakitkan. Selainnya ada kerupuk, snack, roti dan susu. Semuanya dibalut kertas karton dan ditata di atas meja. Usai pengumuman juara-juara lomba di minggu tenang, semua kelompok akan berkumpul, membagi-bagi hadiah sama rata. Siapapun pasti dapat, baik yang main atau tampil, yang jadi tim hore-hore, bahkan yang melipir, atau sembunyi di asrama saat acara. Asyik bukan?
“Asyik bagi yang tidak ikut lomba, tapi gak asyik bagi yang berlaga, cuma capek. Eh, malah di samain sama yang cuma teriak-teriak atau bahkan gak ikut!” (komentar dr si fulan, orang luar)
Tanyakan saja pada mereka. Setahu saya, protes semacam itu tidak ada. Bukan karena kami tak adil, justru kami ingin mengeratkan ukhwah satu sama lain, kami ingin kemenangan suatu kelompok tidak dirasakan secara individu, ya namanya juga kelompok. Gak mungkin juga kan semuanya tampil atau berlaga?  Pun jika ada hadiah yang berlebih dan tak bisa dibagi, biasanya akan diserahkan kepada pemain yang posisinya paling capek, seperti olahraga. Biasanya juga lomba cerdas cermat ada hadiah khusus buat yang jadi utusan, berupa buku.
Tidak perlu muluk-muluk membuat kami bahagia. Apapun dan bagaimanapun itu, asalkan bersama, kami pasti bahagia. Tidak perlu piala, piagam atau apapun yang bersifat individu sebagai hadiah kerja keras kami, cukuplah hadiah yang bisa dinikmati bersama, seserdehana apapun itu, biarlah hanya borobudur satu pack, karena seyogyanya dalam sebuah kelompok, apapun posisinya pastilah berpengaruh. Ada yang menjadi akar, tidak terlihat namun sebenarnya ialah penyokong paling kuat, ada sebagai batang, daun dll. Dan mungkin yang berlaga bisa diibaratkan sebagai buah, yaitu anggota paling mencolok yang menjadi perwakilan sebuah kelompok.
Adel pernah ditanya saat liburan oleh teman sekampungnya, Noor.
“Eh, selain juara kelas, kamu juara apa lagi?”
“Wah, Juara 1 badminton, catur, drama dan cercer dong” Jawabnya penuh kebanggaan, hampir saja sombong dianya. Adel memang rakus, sayangnya hanya dua cabang olahraga yang boleh diikuti, kalau tidak, ia mungkin sudah ikut tenis dan lari.
“Wah, banyak kali. Pasti pialamu udah banyak kan?” Noor bertanya penuh kekaguman.
“Tidak ada sama sekali”
Sontak Noor keheranan, lantas menuduh Jimmy berbohong karena tanpa bukti.
“Semua hadiahnya sudah habis dimakan, hanya tersisa tiga buku tulis, itupun kutinggalkan di asrama” Ujar Adel dengan santai.
“Haha, aneh kali. Masa’ hadiahnya makanan?!”
“Memangnya di sekolahmu apa?”
“Ya duit lah, kalau gak piala atau piagam, itu baru namanya hadiah” Ketus Noor sombong.
Adel hanya tersenyum menanggapinya. Sebenarnya, dulu ia juga pernah berpikiran seperti itu. “Seharusnya orang yang tampil atau capek bertanding, tidak disamakan dengan yang jadi penonton saja. Atau hadiahnya ya masing-masing saja. Masalah kelompok nanti bisa beli entah apa gitu, baru makan bareng”
Namun hadirnya kebahagiaan mematahkan pikiran itu. Melihat adik kelas tersenyum bahagia dapat jatah makanan (walau cuma Borobudur), melihat angota kelompok berjingkrak kegirangan saat mendengar mereka juara, melihat semua sibuk dan bersemangat membagi-bagi hadiah, itu sudah cukup membuat bahagia. Melihat tiap kelompok saling bertanya “Dapat hadiah apa?” lantas saling berbagi dan bertukar hadiah, itu sudah cukup menambah keakraban. Melihat adik-adik yang berteriak memberi dukungan saat bertanding sudah cukup membuktikan bahwa tidak akan pernah ada yang namanya superman, tak kan ada. Yang ada hanya superteam. Oh, satu lagi, hadiah di minggu tenang juga bisa buat oleh-oleh lo, apalagi yang punya banyak adik. Kan repot kalau oleh-olehnya bakso satu bungkus per orang, hhe. Dan sebenarnya, bukan tentang apa hasil atau apa hadiahnya, namun tentang bagaimana kami bersatu meraih keberhasilan itu dan bagaimana keceriaan dan semangat kami menjalani acara demi acara.
Intinya, bahagia itu sederhana. Sesederhana aku melihatmu tersenyum walau dari kejauhan. (Karena kenyataannya sekarang, kita terpisah untuk sebuah mimpi yang dulu kita bangun bersama). Bahagia adalah ketika kita bisa membahagiakan orang lain. Bahagia adalah ketika ketika melakukannya bersama-sama, bahagia adalah, bahagia adalah, sebenarnya tergantung orangnya mendefenisikan bahagia itu seperti apa.
#Kampung_Tarbiyah (Al-Husnayain)

Komentar

Postingan Populer