Resensi Buku Imam Syafi'i


Review Buku
 
Identitas Buku
Judul Buku      : Imam Syafi’i Pejuang Kebenaran
Penulis             : Abdul Latip Talib
Penerbit           : Erlangga
Tahun Terbit    : 2013
Tebal               : 277 halaman
ISBN               : 008-204-024-0

Isi Buku
Nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdul Manaf bin Qushay. Ia berasal dari bangsa Quraisy yang nasabnya tersambung dengan Rasulullah SAW. Ayahnya meninggal dunia ketika Imam Syafi’i masih kanak-kanak. Ada pendapat lain mengatakan bahwa ayahnya meninggal ketika ia masih dalam kandungan ibunya.
Menurut Al-Hakim, ibu Imam Syafi’i bernama Fatimah binti al-Hasan bin Husain bin Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi ada pendapat lain mengatakan ibunya bernama Ummu Habibah Al-Uzdiyyah keturunan Uzd dari kabilah Yaman. Ia dipanggil Syafi’i karena wajahnya mirip dengan Syafi’i, nenek moyangnya yang wajahnya mirip dengan Nabi Muhammad SAW.
Imam Syafi’i lahir di kota Gaza, Palestina pada bulan Rajab tahun 150 Hijriah, bertepatan dengan wafatnya Imam Hanafi (Abu Hanifah). Ia lahir pada masa kekhalifahan Abu Ja’far Al-Mansur dari Bani Abbasiyyah yang dzalim. Kedua orangtua Imam Syafi’i adalah orang yang ta’at pada Allah dan punya hubungan baik dengan masyarakat. Imam Syafi’i berasal dari keluarga yang serba kekurangan namun tidak pernah mengeluh. Semenjak mengandung Imam Syafi’i, Ummu Habibah Al-Uzdiyyah selalu membaca surah Yusuf dan Luqman, berharap anaknya menjadi anak yang patuh,cerdas dan rupawan.
Pada saat mengandung Imam Syafi’i, Ummu Habibah Al-Uzdiyyah bermimpi melihat satu bintang keluar dari perutnya lalu naik ke langit. Kemudian bintang itu pecah dan jatuh bertaburan ke bumi. Cahaya dari bintang itu menjadikan bumi terang benderang. Idris pun demikian, ia bermimpi melihat bintang keluar dari perut istrinya naik ke angkasa. Kemudian bintang itu jatuh dan cahayanya menerangi muka bumi. Mimpi itu ditafsirkan oleh Syekh Fatani, bahwa suatu saat bayi yang lahir tersebut akan menjadi seorang ‘ulama yang ilmunya memenuhi bumi.
Ada beberapa keanehan yang terjadi pada Imam Syafi’i ketika masih kecil. Ia tidak mau menyusu di siang hari bulan Ramadhan, setelah berbuka barulah Imam Syafi’i kecil mau menyusu. Jika ibunya membaca Al-Qur’an, ia akan diam saja seolah mendengarkan. Ia sudah bisa berjalan dan berbicara pada umur 2 tahun. Lalu ibunya mengajari ia membaca Al-Qur’an.
Setelah Idris meninggal dunia, Ummu Habibah Al-Uzdiyyah membawa Imam Syafi’i kembali ke kota Mekkah, kota asal mereka. Pada suatu malam Imam Syafi’i kecil mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpinya, Nabi Muhammad menanyakan siapakah Imam Syafi’I, ia pun menjawab namanya Muhammad bin Idris dari keturunan Bani muthalib. Nabi Muhammad menyuruh Syafi’i mendekat lalu beliau mengusap wajah, mulut dan bibir Imam Syafi’i. Sejak saat itu, daya ingat dan hafalannya sangat kuat, ia berhasil menghafal Al-Qur’an saat umurnya 9 tahun.
Ummu Habibah Al-Uzdiyyah pernah ditanya apa rahasianya mendidik Imam syafi’i sehingga begitu luar biasa ingatannya. Ummu Habibah Al-Uzdiyyah menjawab, “Saya selalu mendoakan kebaikan untuknya. Saya memastikan makan dan  minumnya berasal dari sumber yang halal. Saya tidak pernah memarahinya, apalagi mengucapkan kata-kata yang tidak baik teerhadapnya karena kata-kata ibu adalah do’a. Jika ia melakukan kesalahan, saya mendidiknya dengan memberikan nasihat dan menasihatinya”
Imam Syafi’i belajar ilmu AL-Qur’an kepada Imam Ismail Al-Kustani. Kemudian ia berguru kepada Mus’ab sehingga hafal 10.000 buah puisi yang dikarang penyair dari Kabilah Huzail tersebut. Kemudian ia belajar  ilmu Hadist dari Imam Sufyan bin Uyainah sehingga hafal beribu-ribu hadist. Lalu ia belajar ilmu fikih dari Imam Muslim Az-Zanji. Namun ia merasa ilmunya masih kurang, diam-diam ia mempelajari kitab Al-Muwatta’ yang dikarang oleh Imam Malik bin Anas sehingga ia hafal seluruh dari kitab itu.
            Imam Muslim Az-Zanji mengatakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda, “Akan ada seorang ‘alim ‘ulama dari kalangan kaum Quraisy yang ilmunya memenuhi muka bumi ini”. Para ‘ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah Imam Syafi’i. Ketika umur 15 tahun, ia sudah dipercaya guru-gurunya mengajar di Masjidil Haram dan memberi fatwa. Ia sering mendapat sanjugan dan pujian dari masyarakat karena kegigihan dan kehebatannya.
            Walaupun begitu Imam syafi’i masih merasa kurang dengan ilmunya. Ia merindukan Imam Malik pengarang kitab Al-Muwatta’. Ia lalu merantau ke Madinah untuk menuntut ilmu. Tak lupa, ia selalu meminta izin kepada ibunya dan guru-gurunya. Setelah delapan bulan berguru kepada Imam malik, Imam Syafi’i lalu merantau ke Iraq untuk belajar menuntut ilmu agama, selain karena di sana banyak ‘ulama, kota Baghdad juga menjadi pusat ilmu pengetahuan saat itu. Setelah menjelajahi Iraq, Imam Syafi’i merantau ke Persia hinga akhirnya kembali ke Madinah dan mengajar di sana. Ia tinggal bersama Imam Malik. Pada tahun 179 Hijriah, Imam Malik meniggal dunia, lalu Imam Syafi’i kembali ke Makkah.
            Setelah beberapa hari di Mekkah, Imam Syafi’i di undang oleh Gubernur Yaman untuk merantau ke sana. Di Yaman, ia berguru kepada banyak ‘ulama. Selain menambah ilmu agama, imam Syafi’i juga mempelajari ilmu kedokteran dan hisab. Kemudian, ia bekerja sebagai sekretaris dan bendahara Gubernur Yaman. Imam Sayfi’i sudah dewasa, sudah saatnya untuk berkeluarga. Gubernur Yaman lalu menjodohkan ia dengan seorang gadis sholehah yang bernama Hamidah binti Uyainah bin Amru bin Utsman bin Affan. Mereka dikarunia tiga orang anak, yaitu Abu Utsman Muhammad, Fatimah dan Zainab. Pada suatu hari, Imam Syafi’i pindah ke Najran atas permintaan Al-Malik, Gubernur Yaman dan Imam Syafi’i dilantik menjadi hakim di wilayah tersebut.
            Selang beberapa bulan, Gubernur Al-Malik meninggal dunia dan digantikan oleh As-Saud yang dzalim. Gubernur As-Saud tidak suka dengan Imam Syafi’i yang selalu memperingatkannya tentang keadaan rakyat Najran. Gubernur As-Saud merasa Imam Syafi’i sudah memperburuk reputasinya. Ia lalu memfitnah Imam Syafi’i dengan mengirim surat kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid bahwa Imam Syafi’i mendukung kaum Alawiyah atau orang-orang Syiah yang memusuhi Bani Abbasyiah. Imam Syafi’i tetap tenang, bahkan bersyukur karena ia sudah dipecat dari jabatannya. Melihat Imam Syafi’i yang terus semangat berdakwah, Gubernur As-Saud semakin geram. Ia lalu mengirim surat lagi kepada Khalifah bahwa Imam Syafi’i dan kelompoknya mempunyai rencana menggulingkan kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
            Beberapa hari setelah itu, Imam Syafi’i dan kelompoknya ditangkap dan dibawa ke Baghdad. Tangan mereka dirantai kemudian dipaksa berjalan kaki melewati padang pasir dari kota Najran  menuju Baghdad. Mereka sangat menderita, namun Imam Syafi’i tetap tenang dan memperingati mereka dengan QS At-Taubah:111 yang mengatakan bahwa Allah akan menepati janjinya memeberikan surga bagi orang mukmin. Sesampainya di Baghdad, mereka dipenjara dan disiksa. Walaupun mereka telah mengatakan bahwa mereka hanya difitnah namun Paglima Qadafi tidak peduli dan terus menyiksa mereka. Sementara disebelah ruang tahanan, Khalifah melihat dan mendengar kejadian tersebut secara diam-diam.
            Khalifah lalu menyuruh Imam Syafi’i menghadap dan menjelaskan semuanya. Setelah itu, Khalifah minta maaf dan membebaskan Imam Syafi’i beserta kelompoknya. Sebagai gantinya, Khalifah juga memeberikan uang dua ribu dinar sebagai tanda permohonan maaf. Imam Syafi’i menolak, namun karena sering dibujuk akhirnya Imam Syafi’i menerimanya. Sementara Gubernur As-Saud dihukum Karena telah memfitnah. Namun Imam Syafi’i justru memaafkan Gubernur As-Saud dan membebaskannya.
            Seorang utusan Gubernur Mekkah datang memberi tahu Imam Syafi’i bahwa ibunya telah meninggal dunia. Imam Syafi’i dan keluarganya pun pulang ke Mekkah. Beberapa tahun berlalu, Khalifah Harun Ar-Rasyid wafat dan digantikan oleh Khalifah Al-Makmun. Khalifah Al-Makmun lalu mengundang Imam Syafi’i kembali ke Baghdad.
            Sepeninggal Imam Abu Hanifah, penduduk Baghdad merasa kehilangan guru yang paling disayang dan dihormati. Kedatangan Imam Syafi’i tentu membuat penduduk Baghdad gembira karena Imam Syafi’i akan meneruskan pejuangan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i sebelumnya telah menghafal kitab Al-Awsath karangan Imam Abu Hanifah. Ada beberapa buku lain yang diberikan Syekh Isa Al-Muktadir kepada Imam Syafi’i. Namun, Imam Syafi’i menemukan beberapa kesalahan dalam kitab itu, ia mencoba meluruskannya. Namun, sebagian penduduk kota Baghdad tidak munyukai hal tersebut. Sebagian mereka menentang Imam Syafi’i, namun Imam Syaf’i tetap tenang dan menghormati mereka.
            Tidak Lama kemudian, Imam Syafi’i di undang oleh Gubernur Mesir untuk menetap di sana. Sebab di kalangan rakyat Mesir sering terjadi pertengkaran antara pengikut Imam Malik dengan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i mengajar ilmu agama di Mesjid Amru, kota Fusfat. Seperti halnya Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i tidak pernah mewajibkan siapapun berpegang erat pada pahamnya. Pendapat mereka boleh ditolak jika bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Adapun perbedaan diantara keempat Imam besar tersebut hanyalah masalah furu’ atau cabang ilmu agama hukum, sedangkan dalam masalah ­ushul atau pokok mereka tidak pernah berselisih dengannya karena tetap berpegang pada Al-Qur’an dan Hadist.
            Ada suatu paham yang ditentang keempat ‘ulama besar tersebut, yaitu paham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah bersifat baru dan makhluk. Suatu hari, Imam Syafi’i sakit wasir berdarah sehingga perlu istirahat, dan digantikan oleh Fityan yang mengaku sebagai pengikut Imam Malik. Namun ia jelas mendukung kaum Mu’tazilah. Murid Imam Syafi’i lalu mengadukan hal tersebut. Imam Syafi’i mengatakan kaum Mu’tazilah adalah kafir. Hal itu tentu membuat marah Fityan dan pengikutnya. Mereka mengusir Imam Syafi’i dari kota Fusfat. Namun karena kebijakan Gubernur, Imam Syafi’i kembali diundang untuk mengajar dan siapapun yang mengganggunya akan menerima hukuman yang berat.
            Fityan dan pengikutnya tidak menyerah. Mereka terus memusuhi Imam Syafi’i. mereka menghadiri pengajiannya untuk mencari kesalahan-kesalahan Imam Syafi’i, mengkritik perbedaan-perbedaan Imam Syafi’i dengan Imam Malik, serta mencaci maki Imam Syafi’i. Berita itu sampai ke telinga Gubernur, Fityan lalu dihukum walaupun Imam Syafi’i telah memaafkannya. Melihat Fityan dihukum, pengikutnya semakin marah kepada Imam Syafi’i. Pada suatu malam, mereka mencegat Imam Syafi’i dan memukulinya hingga cedera.
            Penyakit Imam Syafi’i semakin bertambah parah setelah dipukuli. Ia memerintahkan Ar-Rabi’ muridnya untuk menggantikannya mengajar. Murid Imam Syafi’i telah mengetahui siapa yang memukuli Imam Syafi’i hingga cedera, namun Imam Syafi’i melarang muridnya membalas kejadian tersebut. Melihat sakit yang semakin parah, muridnya sibuk menjenguk Imam Syafi’i dan menemaninya, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.
            Ketika tiba waktu isya, Imam Syafi’i menyuruh muridnya untuk meninggalkannya yang sudah sekarat agar segera shalat isya berjama’ah. Sebelum selesai shalat isya, Imam Syafi’i menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu malam Jum’at 28 Rajab tahun 204 Hijriah, bertepatan dengan tahun 820 Masehi. Imam Syafi’i meninggal di rumah Abdullah bin Al-Hakam pada usia 54 tahun.
            Berita wafatnya Imam Syafi’i tersebar luas dan tentu penduduk kota Fusfat sangat merasa kehilangan.  Puluhan ribu manusia mengiringi kepergiannya termasuk Gubernur Mesir. Berita wafatnya Imam Syafi’i juga sampai ke Iraq, lalu Perdana Menteri Iraq membangun sekolah agama di Baghdad yang bernama Sekolah Agama Imam Syafi’i. Ia juga berencana memindahkan makam Imam Syafi’i ke Baghdad. Penduduk kota Fusfat melarang hal tersebut, namun karena perintah Perdana Menteri, penggalian makam Imam Syafi’i pun tetap dilakukan. Ketika menggali makam tersebut, mereka mencium bau yang sangat harum sehingga beberapa penggali kubur itu pingsan. Mengetahui hal itu, Perdana Menteri merasa menyesal dan membatalkan pemindahan kubur tersebut. Pada 7 Rabiul Awwal 608 Hijriah, Al-Malik Al-Kamil Al-Muzaffar Al-Mansur memerintahkan agar dibangun sebuah kubah di makam tersebut. Tidak lama kemudian, sebuah Masjid pun dibangun lalu dinamakan Masjid Imam Syafi’i. Makam ‘ulama yang hebat itu, terus dikunjungi banyak orang hingga hari ini.


Kunjungi Profil saya selengkapnya,,, jreng jreng jreeennggg

Komentar

Postingan Populer