Essay Motivasi Masuk FLP Angkatan 18
Pena
Hijrah
Tidak
semua rasa mampu diungkapkan dengan lisan, banyak lafadz yang tersimpan
menggerogoti jiwa untuk segera ditumpahkan. Dan aku membutuhkan banyak pena
untuk menuliskan. Aku butuh menulis untuk menumpahkan isi hati dan fikiran. Sejak
SD, SMP, SMA hingga menjadi mahasiswa bagiku menulis masih menjadi hal terbebas
dan melegakan selain berdo’a pada Tuhan.
Aku
menuliskan ceritaku di buku bernama diary sejak SMP. Buku yang paling cantik,
tebal dan mahal dari buku catatan sekolah. Aku sedikit menyesal mengapa tidak
menulis di buku diary secara khusus sejak SD, karena aku memang tak mengenal
apa itu diary atau buku harian. Aku hanya mencoret-coret buku di halaman
belakang. Adapun buku diary SMP, yang kalau kubaca sekarang aku bakal malu sendiri,
karena aduhai lebaynya. Dari curhatan-curhatan gak penting, mukoddimah alay, bicarain teman, guru, kisah manis di asrama
hingga target keluar dari asrama.
Masa
SMA, putih abu-abu menyambutku dengan kelabu. Aku terpaksa melanjut di Pondok
lagi. Berseteru dengan kesibukan dan rutinitas. Aku benci sekaligus sedih. Saat
itu aku benar-benar butuh pena untuk menuliskan semuanya. Aku berambisi untuk
pindah, namun sama sekali tak diizinkan keluarga.
Disetiap
kesempatan aku selalu menyempatkan untuk menulis atau membaca. Kumpul
organisasi, menunggu bahkan saat belajar. Aku bahkan betah begadang hanya
gara-gara menulis. Sebab aku merasa berselancar dan berpetualang. Merasa bebas
menumpahkan semua, sekaligus berimajinasi sesukaku. Buku diary, cerpen-cerpen
karangan serta puisi-puisiku terkumpul banyak. Meski belum ada satupun yang
dilombakan tapi buku-bukuku cukup menjadi incaran teman-teman di asrama.
Hingga
muncullah saat yang menggetarkan bagi semua penghuni Pondok. Saat itu virus VMJ
sedang mewabah sehingga perlu dilakukan razia buku. Tapi razia buku ternyata
mengungkap semuanya bukan hanya soal pacaran. Buku yang mereka sita berupa
diary, catatan, novel dan sumber bacaan yang tidak senonoh. Buku-buku yang
mengandung unsur negative dibacakan di hadapan semua penghuni Pondok, termasuk
bukuku. Saking banyaknya buku-buku itu,
sebagian langsung dibakar dan sebagian disimpan. Masih untung tidak semua
bukuku yang kedapatan. Saat itu aku benar-benar benci kepada guruku. Buku-buku
yang susah payah kutulis dan kubeli dengan mudahnya dibakar. Rahasia-rahasia
terungkap sudah dan aku dipermalukan.
Malam-malam selanjutnya saat evaluasi, seperti
biasa aku mengantuk dan hanya mendengar samar-samar.
“Dari razia kemarin Ustadzah
menarik satu kesimpulan, terutama dari diary Kak Nelly, Kak Nelly sepertinya
ingin membuat novel” Aku terbelalak, langsung segar saat mendengar namaku.
“Nelly, Ustadzah tunggu
novelmu” Wajah itu menoleh kepadaku sambil tersenyum dan terlihat bersahabat.
Semua santriati tampak ikut tersenyum dan mengaminkan. Sedang aku
terheran-heran, lalu kembali tertunduk dan merenung. “Ustadzah mendukungku? Mendukungku menulis novel yang isinya sebagian
adalah kekesalanku pada Pondok, pada aturan mereka? Lalu mengapa mereka tidak
mengembalikan buku-bukuku?”
Aku
berfikir keras. Novel seperti apa nantinya yang akan kupersembahkan? Hampir 6
tahun aku menetap di Pondok ini, dan jujur aku masih berproses. Hijrahku belum
sepenuhnya istiqamah. Lantas novel seperti apa? Tulisan yang bagaimana? Bukankah aku
bercita-cita tulisanku dibaca oleh banyak orang? Lantas apa manfaatnya buat
mereka. Ah, ustadzah ternyata memberi kode. Ustadzah sengaja membacakan diaryku
dihadapan santriati lain, agar aku tau betapa buruknya jika tulisan yang kubuat
tak ada manfaatnya buat orang lain. Dan ustadzah sengaja tidak mengembalikan
bukuku, agar aku menulis lagi dengan sudut pandang yang lebih baik. Guru memang
punya cara-cara yang berbeda mendidik muridnya.
Nyatanya
aku perlu belajar lebih luas. Selama ini aku terlalu sempit mengartikan makna
sebuah tulisan hanya suatu hiburan, eksistensi dan luapan rasa. Menulis
ternyata punya makna yang luas. Kau bisa menghipnotis, memotivasi, menasihati
dan menjadi inspirasi buat orang-orang yang bahkan tidak kau kenal. Seperti aku
yang sedikit demi sedikit sudah mulai berhijrah karena menyaksikan
tulisan-tulisan dakwah di media sosial, novel positive dll. Meski disatu sisi
karena pengaruh Pondok juga.
Novel, cerpen atau tulisan lainnya janganlah
hanya sekedar menumpah kisah, atau menghibur saja. Aku seharusnya membuat
tulisan yang bermanfaat buat orang lain, menginspirasi, dan mampu membuka mata
hati. Betapa banyak hal yang harus diperbaiki di Negeri ini. Rasanya terlalu
egois jika hanya menulis sekedar hobby. Aku menemukan 1 kata, Dakwah. Ya,
dakwah. Menulis adalah salah satu media dakwah. Aku pun belajar lagi, membaca
dan menulis lagi. Berharap pena-penaku
menguraikan tulisan yang bisa berubah jadi pahala.
Tapi
aku mendapat banyak kesulitan. Semua berjalan seadanya, sesuai mood yang tiba.
Aku menulis amatiran. Sehingga banyak tulisan yang berantakan, berhenti sebelum
selesai. Hingga aku mendengar tips dari kakak kelas yang kini sudah jadi
penulis, salah satunya adalah bergabung dengan forum atau organisasi
kepenulisan. Sebab lingkungan itu penting, lingkungan menyumbang banyak
pengaruh dalam diri seseorang. Di Pondokku tidak ada, dan aku hanya bergabung di
grup “komunitas bisa menulis” via facebook.
Di sana aku banyak belajar dan menuai manfaat. Meski jadinya aku sering kena
hukuman lagi gara-gara main facebook. Ya, begitulah Pondokku dulu.
Aku
pun kuliah dan merantau dari pelosok Sumatera Utara menuju Yogyakarta, kota
yang sama sekali asing buatku. Di tengah-tengah kesibukan kuliah, aku sempatkan
menulis. Dan adalah hal yang sangat membahagiakan bagiku, setelah tahu info recruitment FLP Yogya dari grup BSO
jurnalistik kampus. Aku pun mendaftar, berharap bisa diterima. Sebab aku sangat
butuh. Aku tak mungkin bisa berdiri sendiri. Aku butuh ranah yang akan
menggemblengku, menempah menjadi muslimah penulis inspiratif. Aku ingin
belajar. Belajar menulis dan berbagi dengan orang lain, menyuarakan kebaikan
dengan ujung-ujung pena atau tombol-tombol keyboard.
Aku
teringat dengan kata-kata Ustadz Abdul Somad “Menulislah agar orang di masa
depan tahu bahwa kau pernah hidup di masa lalu. Menulislah, jangan biarkan
anak-anak kita di masa datang kehilangan tokoh”
Masya
Allah, dakwah ternyata tidak diperuntukkan untuk orang di masa kita saja. Namun
kita perlu menulis untuk mendakwahi anak cucu kita nantinya. Menulis mengajak
kita berfikir luas, memandang dari setiap sudut-sudut kehidupan. Bahwa kita
masih punya generasi jika Allah mengizinkan. Sebab semua orang akan mati. Dan
hal yang paling bahagia adalah ketika pahala masih mengalir sedangkan nyawa
sudah kembali. Dengan menulis kita berbagi ilmu yang bermanfaat yang akan
menjadi amal jariyah nantinya.
Sebab
setiap muslim adalah da’i. Pendakwah, pengajak kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran. Salah satu media dakwah adalah tulisan. Apalagi di zaman millenium
ini yang marak buku dan tulisan-tulisan berbau negative. sebagai seorang muslim
yang peduli, kita harus membuat tulisan-tulisan yang lebih menarik dan berbau
positive. Agar Mengalihkan konsumsi generasi kita dari bacaan yang tidak baik
menjadi lebih baik.
Kita bisa mencontoh para ulama-ulama kita,
yang tidak pernah lelah menuliskan ilmu-ilmunya. Sehingga kita bisa dengan
mudah mendapatkan ilmu di zaman sekarang ini. Kita dengan mudah menemukan
buku-buku yang komplit karena sudah disusun sedemikian rupa oleh ‘ulama dan
orang-orang terdahulu kita.
Aku,
FLP dan dakwah kepenulisan kuharap mampu bersatu. Aku membutuhkan FLP untuk
dakwah dalam kepenulisan. Aku rasa FLP adalah forum yang sangat relevan buat
misi dunia akhirat. Sebab FLP bukan forum yang hanya sekedar menulis namun
forum dakwah untuk memperbaiki ummat melalui tulisan. Bersama ‘aku-aku’ yang
lainnya semoga juga bisa bergabung dengan FLP, bertumbuh kembang dan memberi manfaat untuk ummat.
“Semangat menulis, semangat
berbagi. Bacalah sesuatu yang layak untuk ditulis dan tulislah sesuatu yang
layak untuk dibaca”.
Salam Literasi!
www.flpyogya.org
Komentar
Posting Komentar